Oleh: GI Jimmy Setiawan
Kisah Para Rasul 1:12-26
Latar
belakang:
• Kesebelas
Rasul mencari pengganti Yudas Iskariot untuk menjadi pemimpin tertinggi bagi
gereja mula-mula.
• Mengapa
harus duabelas? Karena ini adalah simbol dari duabelas suku bangsa Israel. Dari
duabelas rasul inilah, Allah mau memulai umat pilihan yang baru yaitu gereja.
Petrus memahami kebenaran ini. Ketika dia menuliskan 1 Petrus 2:9 (merujuk pada
Keluaran 19:5-6), dia memandang gereja sebagai bangsa “Israel” yang baru. Tuhan
Yesus sendiri pernah mengatakan bahwa keduabelas Rasul akan menghakimi
keduabelas suku Israel (Lukas 28:30).
• Pengganti
Yudas sangatlah penting karena ini menyangkut pemimpin tertinggi bagi gereja
yang kelak akan ditahbiskan ketika Roh Kudus datang di hari Pentakosta.
Prinsip
fundamental:
• Tuhan
yang memilih pemimpin gereja
(“...tunjukanlah...”) karena Dia yang mengenal
hati para pemimpin (ayat 24; bandingkan dengan 1 Samuel 16:7).
• Hati
lebih penting daripada kemampuan atau karunia! Karena hati menyangkut aslinya
seseorang. Amsal 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari
situlah terpancar kehidupan.” Hati juga bersangkutan erat dengan karakter
karena karakter adalah sikap hati yang termanifestasi melalui perilaku kita. Kalau
kita baca kriteria penilik jemaat dari 1 Timotius dan Titus, hampir semuanya
kriteria tentang karakter. Hanya satu kriteria yang berhubungan dengan
kemampuan yaitu “harus cakap mengajar” (1 Tim 3:2). Dan hanya satu kriteria
yang berhubungan dengan pengetahuan yaitu harus berpegang pada pengajaran yang
sehat (Titus 1:9).
• Paradigma:
Kita bukanlah pemilih namun Allah sendiri yang memilih. Ini penting, karena
kalau kita sadar Allah yang memilih maka kita akan serius dalam mencari isi
hati Tuhan.
Bagaimana
caranya?
1. Kita
harus berdoa.
• Kita
berdoa karena kita tidak bisa melihat hati manusia. Hanya Tuhan! Ini pelik:
Hati begitu penting tapi kita tidak dapat mendeteksi hati manusia secara
sempurna. Sewaktu wawancara, saya menemukan jawabannya bagus-bagus. Bukannya
saya tidak percaya, namun kadang memberikan jawaban bagus itu mudah tapi
bagaimana hati para calon, saya akui saya tidak bisa menebak secara baik.
• Memang
tidak terlalu jelas apakah mereka semata-mata berdoa untuk mencari pengganti
Yudas ataukah ada hal lain yang mereka doakan, namun kalau kita lihat
paralelisme teks ini dengan Lukas 6:12-16, maka ada kemungkinan mereka sedang
mendoakan pengganti Yudas.
• Mereka
mengikuti teladan Tuhan Yesus yang berdoa sebelum memilih para Rasul (Lukas
6:12-16).
• Mereka
bertekun dalam doa. Perhatikan ayat 15, “Pada hari-hari itu...” Ada beberapa
hari sebelum Petrus memprakarsai pemilihan.
• Mereka
juga bersehati dalam pergumulan. Bahasa aslinya “homothymadon” yang arti harfiahnya “dengan satu perasaan dan
pikiran”.
• Doa
harus menjadi insting kita setiap kali kita dalam momen-momen krisis atau
pengambilan keputusan yang sangat penting. Robert Stein, penafsir Lukas-Kisah
Rasul, menyimpulkan bahwa Tuhan Yesus dan gereja mula-mula selalu berdoa setiap
kali mereka menghadapi pilihan penting yang harus mereka putuskan.
2. Kita
harus memakai kriteria obyektif (1
Timotius 3:1-7; Titus 1:5-10).
• Dalam
cerita ini, para Rasul menetapkan kriteria yaitu haruslah orang yang mengikuti
Tuhan Yesus sejak baptisan sampai Yesus diangkat ke surga.
• Bersyukur
bahwa gereja kita sudah memiliki kriteria obyektif yang berasal dari panduan
FT.
Bagaimana dengan mekanisme akhir dalam
memilih? Mengapa tidak membuang undi seperti para Rasul? Karena kita sudah
memiliki Roh Kudus dan Alkitab.
Saya mungkin masih bisa menerima metode
membuang undi dalam kasus-kasus tertentu tetapi dengan syarat: Buang undi
benar-benar langkah terakhir ketika semua proses pergumulan tidak dapat membawa
kita pada suatu keputusan yang sungguh-sungguh kita yakini. Dalam cerita kita:
Buang undi dilakukan setelah mereka
berdoa dan menseleksi calon dengan kriteria yang ketat. Mereka membuang undi
karena memang kedua calon ini sama-sama kuat dan masuk kualifikasi. Jadi buang
undi bukanlah jalan pintas (shortcut)
karena kita malas bergumul bersama Tuhan! Kalau kita sudah bergumul maka buang
undi dapat dipakai Tuhan untuk memberitahukan keputusan yang terbaik. Amsal
16:33, “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada
Tuhan.” Cerita lain: Francis Schaeffer membuang undi.
Apapun mekanismenya, kita harus
menyadari kelemahannya dan berusaha
untuk mengantisipasinya.
Mekanisme demokrasi (dalam konteks GKBJ
adalah pemilihan berdasarkan suara terbanyak / majority vote) memiliki kelemahan yaitu jemaat dapat memilih berdasarkan
kriteria atau motivasi yang subyektif.
• Sejujurnya,
tidak semua jemaat adalah pemilih yang dewasa atau mengerti bagaimana memilih
dengan baik dan bijak (well-informed
voter)!
• Sebenarnya,
dalam Perjanjian Lama, justru ada kasus di mana suara terbanyak mendatangkan
malapetaka dan tidak berkenan di hati Tuhan. Kisah duabelas pengintai Israel ke
tanah Kanaan (Bilangan 13-14). 10 pengintai sepakat mengatakan bahwa bangsa
Israel tidak akan bisa masuk ke tanah perjanjian. Hanya 2 pengintai yaitu Yosua
dan Kaleb yang berkata sebaliknya bahwa bangsa Israel bisa masuk ke tanah
perjanjian dengan pertolongan Tuhan!
• Dalam
Perjanjian Baru, tidak pernah ada catatan tentang pemilihan berdasarkan suara
terbanyak.
Sebenarnya pemilihan aklamasi (unanimous) jangan-jangan lebih
alkitabiah daripada pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Contoh: Pemilihan deacon pertama (Kis 6:1-6),
Kriteria yang subyektif / salah dalam
memilih:
1. Popularitas.
• Popularitas
tidak sama dengan integritas.
• Kisah:
Gereja yang menjadwalkan calon majelis menjadi liturgis beberapa minggu sebelum
pemilihan. Pertanyaannya: Bagaimana dengan mereka yang tidak punya kemampuan
menjadi liturgis? Kalah populer?
2. Kedekatan.
• Sahabat,
keluarga, atasan.
3. Sentimen.
• Bisa
positif atau negatif.
• Rasa
suka atau tidak suka yang murni bersifat subyektif (hanya berdasarkan
perasaan). Saudara pernah konflik dengan calon atau pernah dibayarin (hutang
budi) terhadap calon.
4. Kesamaan profil.
• Dari
suku, latar belakang ekonomi, latar belakang pendidikan yang sama.
5. Rasa kasihan.
• Kasihan
kalau dia tidak terpilih. Apalagi bila dia sudah beberapa kali menjadi calon
majelis dan tidak pernah terpilih.
6. Stigma/label.
• Stigma
terhadap kesalahan atau masa lalu calon majelis yang buruk.
No comments: